KAB. TANGERANG-, Peristiwa intimidasi yang melibatkan seorang pejabat dari Sekretariat Dewan DPRD Kabupaten Tangerang baru-baru ini mencoreng citra dunia jurnalistik. Aksi arogan yang dilakukan oleh oknum tersebut, yang berinisial D, bahkan menciptakan ketakutan di kalangan wartawan yang seharusnya bebas menyampaikan informasi.
Di tengah situasi yang memanas ini, banyak yang bertanya-tanya: seberapa jauh tindakan intimidatif dapat mengganggu proses jurnalistik? Kejadian yang menimpa seorang wartawan dengan inisial ANF ini merupakan contoh nyata dari tantangan yang harus dihadapi oleh media dalam menjalankan tugasnya.
Intimidasi Wartawan: Sebuah Laporan Saksi
Kasus ini bermula pada Kamis, 21 Agustus 2025, saat ANF melaksanakan liputan di Gedung DPRD Kabupaten Tangerang. Dalam momen tersebut, ANF menjadi sasaran intimidasi yang dilakukan oleh D. Tindakan ini tidak hanya merusak suasana kerja, tetapi juga mengancam keberadaan dan kebebasan pers di wilayah tersebut. Ketua PWI Kabupaten Tangerang, Sri Mulyo, menjelaskan bahwa pengaduan tersebut menjadi perhatian serius bagi mereka. Ia mengungkapkan kekhawatiran akan dampak dari tindakan tersebut terhadap kebebasan berekspresi di masyarakat.
Menurut laporan, D tidak hanya melontarkan ancaman verbal, tetapi juga bersikap agresif dengan menggebrak meja saat menghadapi wartawan. Ini menunjukkan betapa buruknya perilaku yang mengesampingkan etika komunikasi. Mulyo menekankan bahwa profesi wartawan dilindungi oleh undang-undang, dan setiap tindakan intimidasi harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Strategi Menghadapi Intimidasi dalam Jurnalistik
Dalam menghadapi situasi intimidatif, jurnalis dapat melakukan beberapa langkah strategis. Pertama, penting untuk mendokumentasikan setiap peristiwa intimidasi dengan baik, mencatat waktu, lokasi, dan detail interaksi. Ini akan membantu memperkuat pengaduan yang diajukan. Kedua, jaringan profesional seperti PWI harus dilibatkan untuk memberikan perlindungan dan dukungan kepada anggota yang menghadapi intimidasi.
Studi kasus menunjukkan bahwa banyak jurnalis menjadi korban intimidasi karena liputan yang dianggap “sensitif”. Oleh karena itu, penting bagi wartawan untuk mengetahui hak-hak mereka dan selalu siap menggunakan semua disponível resources yang ada untuk melindungi diri mereka. PWI, dalam hal ini, memainkan peran penting dalam memberi arahan serta dukungan bagi individu yang mengalami kasus serupa.
Mulyo berharap kejadian ini tidak terulang kembali. Ia menekankan bahwa tindakan menghalangi wartawan dalam berkarya tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai demokrasi itu sendiri. Dalam situasi seperti ini, publik juga diharapkan berperan aktif dengan memberikan dukungan kepada media.