Gubernur Jawa Barat baru-baru ini mengeluarkan kebijakan yang kontroversial, yaitu pelarangan kegiatan study tour bagi siswa sekolah. Surat Edaran yang diterbitkan menetapkan sembilan langkah pembangunan pendidikan dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan di Jawa Barat, dan kebijakan ini menjadi sorotan banyak pihak.
Kebijakan tersebut tidak luput dari reaksi masyarakat, terutama dari pelaku usaha di sektor pariwisata yang merasa tidak puas. Banyak yang mempertanyakan alasan penghapusan kegiatan study tour yang selama ini dianggap sebagai inovasi dalam pendidikan, apakah ini akan memengaruhi kesempatan belajar siswa di luar kelas?
Kritisnya Kebijakan Pelarangan Study Tour
Beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Barat menyatakan bahwa larangan tersebut ditujukan untuk mengembalikan fokus pendidikan kepada nilai-nilai akademis. Ia melihat bahwa kegiatan study tour kini lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi daripada pendidikan yang sesungguhnya. Hal ini disampaikannya dengan tegas melalui akun media sosialnya.
Menurut Dedi Mulyadi, menjadikan siswa sebagai target peningkatan kunjungan pariwisata adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak berdasarkan pada prinsip pendidikan yang baik. Ia menjelaskan bahwa hal ini berpotensi menjadi bentuk eksploitasi, di mana siswa seharusnya tidak diperlakukan sebagai komoditas ekonomi. Pengalaman eksploitasi ini, menurutnya, terlihat dari berbagai praktik yang terjadi di sekolah, seperti penjualan buku LKS, seragam, dan kegiatan non-akademik yang tidak memperhatikan kepentingan siswa.
Alternatif Pengembangan Pariwisata yang Berkelanjutan
Dari pihak yang mengkritik kebijakan tersebut, beberapa pelaku wisata menyatakan bahwa tindakan ini akan berdampak buruk bagi industri pariwisata lokal. Namun, Gubernur Dedi memberikan pandangan yang lain dengan mengusulkan solusi agar pengembangan pariwisata tetap dapat dilakukan tanpa melibatkan siswa dalam kegiatan study tour. Ia menyarankan kepada pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan berbagai aspek pendukung lainnya.
Dedi menekankan pentingnya perbaikan menyeluruh pada ekosistem pariwisata, termasuk kebersihan lingkungan dan estetika daerah. Kebersihan kota dan fasilitas umum, seperti sungai dan area wisata, menjadi prioritas yang harus diperhatikan. Dengan lingkungan yang bersih dan ramah wisatawan, diharapkan akan menarik pengunjung secara alami.
Ia juga menyoroti perlunya menciptakan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan, serta meningkatkan kualitas dari pemandu wisata lokal. Dalam pandangannya, jika semua elemen pendukung pariwisata diperhatikan, wisata akan berkembang dengan sendirinya tanpa perlu melibatkan siswa dalam kegiatan yang bersifat komersial.
Dengan adanya kebijakan ini, Dedi berharap bahwa pendidikan tidak akan terdegradasi menjadi sekadar alat untuk mendatangkan keuntungan materi. Pendidikan seharusnya memiliki semangat yang jauh lebih tinggi dan menjadi fondasi bagi generasi masa depan yang lebih baik.
Penutupnya, meskipun kebijakan ini menuai beragam reaksi dari berbagai pihak, penting untuk melihat lebih dalam mengenai tujuan dari larangan kegiatan study tour ini. Apakah demi kepentingan pendidikan siswa yang lebih baik ataukah ada pertimbangan lain? Melalui kebijakan ini, terlihat bahwa ada upaya untuk menempatkan pendidikan pada posisi yang lebih berharga dibandingkan sekadar aktivitas ekonomi belaka.