Tulus Hartawan, pengacara yang mewakili Lucky Mulyawan Martono dan Popi H, meyakini bahwa hakim tunggal di Pengadilan Negeri Serang akan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan untuk kedua kliennya. Sidang yang dimaksud akan berlangsung pada 8 Juli 2025 dan ditujukan untuk menanggapi keputusan dari BPOM Serang dan Korwas PPNS Polda Banten terkait penetapan tersangka.
Keyakinan ini didasarkan pada hasil persidangan sebelumnya, di mana dua saksi ahli memberikan keterangan yang mendukung argumen para pemohon. Pengacara ini mengklaim, prosedur yang dilakukan oleh penyidik BPOM dalam menetapkan tersangka mengandung cacat formil.
Prosedur Hukum Dalam Kasus Praperadilan
Pada sidang sebelumnya, Prof. Dr. Aan Asphianto, seorang ahli hukum pidana, menjelaskan adanya cacat formil dalam penetapan tersangka. Salah satu poin utama yang disoroti adalah keterlambatan dalam pengiriman surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada para tersangka. Surat ini seharusnya disampaikan dalam waktu 7 hari setelah penyidikan dimulai, tetapi baru diterima pada Januari 2025, setelah penetapan tersangka dilakukan.
Cacat prosedural ini, menurut ahli, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menetapkan kewajiban hukum bagi penyidik. Selain itu, penerbitan beberapa surat dalam waktu bersamaan juga menjadi sorotan, karena ini menunjukkan kurangnya kehati-hatian dalam proses hukum yang seharusnya bersifat transparan.
Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Di sisi lain, Tulus Hartawan menekankan pentingnya penerapan hukum yang tidak hanya berorientasi pada penegakan pidana semata, tetapi juga memberikan perhatian pada aspek keadilan restoratif. Menurutnya, ada keharusan untuk mempertimbangkan bahwa tidak semua kasus harus langsung dijadikan pidana, melainkan harus dikedepankan upaya penyelesaian yang lebih humanis.
Dalam konteks ini, Tulus menyatakan harapannya agar keputusan hukum nanti tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum positif, tetapi juga memberikan ruang bagi pendekatan yang mengandalkan keadilan sosial. Hal ini penting untuk menjaga integritas sistem hukum di Indonesia dan memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Kasus ini sendiri mencuat setelah dilakukan penggerebekan di Apotek Gama pada 9 Oktober 2024, di mana ditemukan sekitar 400 ribu butir obat tanpa izin edar. Temuan ini menjadi sorotan karena obat-obatan tersebut tidak memiliki informasi jelas mengenai kandungan, dosis, atau tanggal kedaluwarsa, yang tentunya menimbulkan potensi bahaya bagi masyarakat.
Dengan semua informasi ini, harapannya adalah hakim akan mempertimbangkan semua aspek yang ada sebelum membuat keputusan. Keputusan ini diharapkan tidak hanya memberikan keadilan bagi kedua klien Tulus, tetapi juga menciptakan preseden baik bagi penegakan hukum di Indonesia ke depannya.