SIDANG KORUPSI PJU – Sidang perdana dugaan kasus korupsi Penerangan Jalan Umum (PJU) telah dimulai di Pengadilan Negeri Cianjur pada tanggal 7 Agustus 2025. Kasus ini menarik perhatian publik karena melibatkan sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam praktik korupsi yang merugikan negara. Proses hukum ini menjadi sorotan, mengingat besarnya nilai kerugian yang ditaksir mencapai Rp 8 miliar.
Pihak kuasa hukum Dadan Ginanjar Nurdin Hidayatulloh mengungkapkan beberapa permasalahan dalam prosedur hukum yang berlangsung. Mengetahui bahwa ada sejumlah langkah yang diyakini tidak sesuai dengan ketentuan hukum, pernyataan ini tentu membawa nuansa meragukan tentang transparansi dan keadilan proses hukum yang akan berjalan.
Kecacatan Prosedur dalam Proses Hukum
Dalam konteks hukum, kejelasan prosedur sangat penting. Menurut Tim kuasa hukum, salah satu keberatan utama yang diajukan adalah soal pendampingan penasihat hukum bagi kliennya. Pada saat pemeriksaan, klien mereka justru diperiksa sebagai saksi tanpa didampingi oleh penasihat hukum, suatu hal yang tidak seharusnya terjadi. Hal ini menunjukkan betapa vitalnya peran penasihat hukum dalam melindungi hak-hak tersangka dalam proses hukum.
Sebagai contoh, pada banyak kasus serupa, kehadiran penasihat hukum tidak hanya berfungsi sebagai pendampingi, melainkan juga sebagai pengawal kepentingan klien di sepanjang proses hukum. Ketidakpatuhan terhadap prosedur ini berpotensi menimbulkan keraguan terhadap keabsahan penyidikan yang telah dilakukan. Berdasarkan fakta tersebut, sangat jelas terdapat cacat prosedur yang bisa menjadi dasar untuk membela klien. Hal ini membuka peluang bagi pengacara untuk menyusun argumen yang lebih kuat dalam sidang mendatang.
Penyelidikan dan Perhitungan Kerugian Negara
Selain isu prosedur, pihak kuasa hukum juga merasakan keberatan terkait dengan metode perhitungan nilai kerugian negara. Dalam hal ini, mereka merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan bahwa penilaian kerugian negara seharusnya ditentukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, pihak termohon justru menggunakan dasar undang-undang BPK sebagai acuan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi dan keakuratan dalam menetapkan besarnya kerugian negara yang terjadi.
Menanggapi berbagai keberatan yang diajukan, Kepala Kejari Cianjur, Kamin, menyatakan bahwa mereka merasa telah memberikan jawaban yang memadai terhadap seluruh keberatan yang disampaikan oleh pihak termohon di persidangan. Namun, pernyataan tersebut tampaknya tidak mengakhiri perdebatan mengenai keabsahan proses yang sedang berlangsung. Ini mengindikasikan bahwa sidang selanjutnya akan dipenuhi dengan pertentangan yang lebih tajam antara kedua belah pihak.
Lebih jauh, sidang kedua yang direncanakan pada esok hari akan memasuki tahap pembuktian. Proses ini vital, mengingat banyaknya bantahan dan argumen yang saling bertanggal antar pihak. Dihadirkan saksi-saksi yang relevan bisa menjadi kunci untuk mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini. Seluruh proses ini akan menjadi momen krusial untuk menggali lebih dalam tentang apa yang sesungguhnya menyelimuti kasus dugaan korupsi PJU ini.
Dalam penutup, persidangan ini tidak hanya soal hukum, tetapi mencerminkan keinginan masyarakat untuk mendapatkan keadilan. Proses yang berjalan harus transparan dan akuntabel demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Masyarakat menanti dengan penuh harapan akan hasil yang adil, yang bisa menjadi langkah maju dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.